Dia kenapa sih? Diam saja. Gak cerita apa-apa.
Kalimat ini sering muncul saat kita merasa pasangan, suami, atau lelaki terdekat mulai menarik diri. Tidak banyak bicara. Terlihat seperti menjauh, padahal masih tetap bersama hanya lebih terlihat tenang, lebih diam.
Tapi tahukah kamu? Lelaki seringkali memilih diam bukan karena tidak peduli, tapi justru karena terlalu banyak yang dipikirkan dan ditahan sendiri.
Dalam keseharian, banyak lelaki dibesarkan dengan pesan bahwa menunjukkan emosi adalah kelemahan. Maka, saat beban datang bertubi-tubi, mereka masuk ke “gua” tempat sunyi di mana mereka bisa berpikir, menata ulang kekacauan, dan mencoba menyembuhkan dirinya sendiri.
Ini bukan soal tidak butuh bantuan. Tapi lebih kepada, "Aku harus kuat dulu sebelum aku bisa menenangkan yang lain."
Sebagai pendamping hidup entah istri, pasangan, sahabat, atau keluarga tugas kita bukan mendesak mereka keluar dari gua itu. Tapi menunggu dengan pengertia, sambil tetap ada jika suatu saat mereka siap bicara.
Dalam buku Filsafat Teras (adaptasi dari stoikisme), ada satu prinsip penting: kendalikan yang bisa kamu kendalikan. Saat pasanganmu diam, kamu tidak bisa mengendalikan pikirannya, tapi kamu bisa mengendalikan respon dan pengertianmu.
Alih-alih memaksa mereka bicara, cobalah hadir dengan tenang. Beri ruang. Karena cinta bukan soal terus bersama dalam keramaian, tapi juga tentang memberi tempat untuk tenang dalam kesunyian.
Mereka bukan tidak ingin didengar. Mereka hanya belum siap membuka beban yang bahkan belum mereka pahami sepenuhnya. Saat mereka diam, mungkin itu adalah bentuk cinta paling sunyi: menjaga agar kamu tidak ikut lelah dalam badai yang sedang mereka hadapi sendiri.
Menjadi pendamping hidup bukan hanya tentang saling bicara, tapi juga saling memahami dalam diam. Karena kadang, diamnya lelaki bukan tanda menjauh tapi sedang belajar menjadi kuat, agar bisa kembali dengan senyuman.
Pernah mengalami pasangan atau lelaki terdekat yang lebih memilih diam? Jawabanya sudah jelaskan? Berikan ruang menyendiri.
0 Comments